Selasa, 07 April 2009

BT

ya...
bginilah diriku....
q lg bermasalah dengan perut aku....
beberapa hari kok kayanya susah buang air besar ya,.,,,
hem...
aku jadi khawatir dengan sistem pencernaan aku...
somebody help me please....
hahahaha
asal jangan dijampi - jampi aja ye aqq.....
hak
hak
hem lebay....
ya bttw aq syuka banget crita - crita gni...
moga ada temen yang bisa aku ajak bicara dan menyenangkan sekali...
Ya finally i hope my stomach will be fine...
amin....
love you her......!!

Minggu, 05 April 2009

Makalah Polugri (Rezim Soekarno) by.dadang

Latar Belakang
Fase pertama pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1959) diwarnai semangat revolusioner, serta dipenuhi kemelut politik dan keamanan. Belum genap setahun menganut sistem presidensial sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, pemerintahan Bung Karno tergelincir ke sistem semi parlementer. Pemerintahan parlementer pertama dan kedua dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PM Muhammad Hatta yang merangkap Wakil Presiden. Kepemimpinan Bung Karno terus menerus berada di bawah tekanan militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya, pemberontakan-pemberontakan bersenjata, dan persaingan di antara partai-partai politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun. Perekonomian terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik. Ironisnya, meskipun menerima system parlementer, Bung Karno membiarkan pemerintahan berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Semua anggota DPR (DPGR) dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden dari partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945.
Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi baru menggantikan UUD 1945, Bung Karno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955, pemilu pertama dan satu - satunya Pemilu selama pemerintahan Bung Karno. Pemilu tersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU dan PKI. Usai Pemilu, Badan Konstituante yang disusun berdasarkan hasil Pemilu, mulai bersidang untuk
menyusun UUD baru. Namun sidang-sidang secara marathon selama lima tahun gagal mencapai kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru. Menyadari bahwa Negara berada di ambang perpecahan, Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD Sementara, juga jatuh dan bangun oleh mosi tidak percaya. Akibatnya, kondisi ekonomi morat-marit. Sementara itu, para pemimpin Masjumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Kemudian, Bung Karno membubarkan kedua partai tersebut.
Pada fase kedua kepemimpinannya,1959-1967, Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili 8 Tokoh INDONESIA 23 THE EXCELLENT BIOGRAPHY NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM.
Namun di tengah tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini berhasil membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. Saat itu yang menjadi Panglima Komando Mandala (pembebasan Irja) adalah Mayjen Soeharto. Tahun 1964-965, Bung Karno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya ke dalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi Malaysia yang didukung Inggris.
Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar tentang sakitnya Bung Karno. Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949. Di dalam pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapiapi menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda. Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri. Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores.
Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi Indonesia.Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang. Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta. “Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti, Tuan. Bapak adalah keturunan Sultan Kediri... Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.” Ir. Soekarno menuturkan kepada penulis otobiografinya, Cindy Adam. Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah asing.
Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921). Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923). Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia dijeboloskan ke tersebut menimbulkan situasi chaos di seluruh negeri. Kondisi politik dan keamanan hampir tak terkendali.
Menyadari kondisi tersebut, Bung Karno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang dilakukan Pak Harto, sejalan dengan tuntutan rakyat ketika itu, membubarkan PKI. Bung Karno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai pertanggungjawaban di dalam sidang istimewa MPRS tahun 1967. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno ditolak. Kemudian Pak Harto diangkat selaku Pejabat Presiden. Pak Harto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI yang Kedua, Maret 1968.
Sementara pembangunan ekonomi, selama 22 tahun Indonesia merdeka, praktis dikesampingkan. Kalaupun ada, pembangunan ekonomi dilaksanakan secara sporadis, tanpa panduan APBN. Pembangunan dilakukan hanya dengan mengandalkan dana pampasan perang Jepang.
Dari dana pampasan perang itu, Bung Karno membiayai pembangunan fisik, antara lain, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Gedung Sarinah, Stadion Senayan, Bendungan Jatiluhur, Hotel Samudra Beach, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, Bali Beach dan Sanur Beach di Bali. Juga memulai membangun Gedung MPR/DPR, Tugu Monas dan Masjid Agung Istiqlal
yang kemudian dirampungkan dalam era pemerintahan Pak Harto. Emas murni di pucuk Monas yang tadinya disebut 35 kilogram ternyata hanya 3 kilogram, kemudian disempurnakan pada era pemerintahan Orde Baru.

Perumusan Masalah
Dalam Makalah yang dibuat membahas Manuver Politik Kebijakan Luar Negeri pada era Soekarno, Makalah ini menyajikan paradigma atau pandangan yang digunakan Soekarno dalam membuat Kebijakan Luar Negeri, dan mengenai gerakan – gerakan Revolusi yang dilakukan Soekarno dalam memerdekan Indonesia dari Penjajahan Belanda, kebijakan yang dihasilkan apakah benar dalam mendukung proses bangkitnya Indonesia dari eterpurukan karena jajahan Belanda dan pada Akhirnya memberikan penjelasan mengenai Trade Record Soekarno dalam Mengarungi Indonesia yang baru merdeka dalam menghadapi Dunia Internasional.

Pembahasan
Politik Luar Negeri Indonesia pada era kepemimpinan Soekarno sangat dipengaruhi oleh pengaruh individu Soekarno sebagai kepala Negara. Kebijakan luar negeri dianggap sebagai salah satu prioritas setelah kebijakan luar negeri lebih dikategorikan sebagai domain pribadi Soekarno dan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan nation building dan regime survival . Aspirasi yang diemban oleh kebijakan luar negeri, yaitu kemerdekaan yang lebih nyata, anti-imperialisme dan kemandirian, dikejar dengan semangat politik yang tinggi. Kebijakan luar negeri dipergunakan sebagai tool untuk menjaga keseimbangan politik didalam negeri dan promosi secara luas solidaritas internal dalam negeri
Suksesi kepemimpinan antara Orde Lama menuju Orde Baru-terlepas dari berbagai intrik politik dan berbagai macam kontroversi selama periode transisi kepemimpinan-telah mengubah berbagai macam segi kehidupan politik Indonesia. Konsentrasi politik yang mulanya bersifat ideologis dan bercirikan flamboyan pada masa kepemimpinan Soekarno, telah mengambil format dan konsentrasi yang relatif baru pada masa kepemimpinan Soeharto. Ketergantungan ekonomi (dependence) pada sistem tata internasional yang sebelumnya dicoba ditampik pada masa kepemimpinan Orde Lama dengan “mengutuk” sistem internasional yang kapitalistik dan eksploitatif tersebut dan mencoba untuk berdikari dan mandiri dengan sistem politik independen. Dengan prinsip anti imperialisme dan anti kolonialisme yang dimiliki Indonesia, Soekarno mencoba melepaskan diri dari belenggu Barat yang eksploitatif dan mencoba mencari sekutu baru di Dunia Timur.
Pada masa Orde Baru, sebaliknya, underdevelopment pada bidang ekonomi yang melanda Indonesia pada era Orde Lama dianggap sebagai hambatan dan gangguan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan yang sepenuhnya. Barat dinilai mumpuni sebagai “sekutu yang baik” dalam memperoleh berbagai asistensi ekonomi, dimana berbagai asistensi ekonomi tersebut dipandang sebagai salah satu alternatif bagi Indonesia sebagai modal awal proses pembangunan ekonomi politik yang berkelanjutan. Bagaimanapun, asistensi asing bersifat dilematis, yang pada akhirnya akan menimbulkan ketergantungan pihak Indonesia akan bantuan dunia Barat. Paradigma Ekonomi Politik tertentu yang dianut oleh rezim tertentu tentunya berpengaruh terhadap berbagai output kebijakan luar negeri operasional yang dilaksanakan dan peran negara tersebut dalam komunitas internasional.
Dijalankan sebagai produk lebih lanjut dari semangat revolusi, kebijakan luar negeri Indonesia menimbulkan impresi heroik dan politik konfrontasi dan koersi sering kali dilakukan, seperti penyelesaian kasus Irian Barat dan kampanye konfrontasi terhadap Malaysia. Dalam kasus Irian Barat, PBB yang tidak berhasil mengesahkan suatu resolusi untuk menyelesaikan kasus tersebut menghimbau agar Belanda merundingkan suatu penyelesaian kasus Irian Barat dengan Indonesia. Kegagalan tercapainya resolusi PBB tersebut secara langsung mengakibatkan terjadinya suatu ledakan radikalisme anti Belanda- dan benih awal paham anti Barat- yang dikobarkan oleh Soekarno. Kebutuhan militer untuk melancarkan serangan guna merebut Irian Barat mendorong pihak tentara dan pemerintah berpaling kepada Uni Soviet, yang kala itu berusaha memperluas pengaruhnya di Indonesia untuk menjaga perimbangan kekuasaan dengan Amerika Serikat dan Cina, yang selanjutnya pada bulan Januari 1960 Kruschev berkunjung ke Jakarta dan memberikan bantuan kredit sebesar 250 juta dollar kepada Pemerintah Indonesia. Selanjutnnya, bulan Januaru 1961, Nasution berangkat ke Moskwa dan memperoleh pinjaman luar negeri sebesar 450 juta US$ dalam bentuk perlengkapan persenjataan.
Setelah itu, muncul permasalahan kebijakan luar negeri yang baru. Selama tahun 1961 Malaya, Singapura, dan Inggris mengupayakan suatu penyelesaian terhadap beberapa masalah bersama : keinginan Singapura untuk lepas dari Malaya, kecemasan Malaysia terhadap warga minoritas Cina apabila Malaysia digabung dengan Singapura, serta keinginan Inggris untuk menjadi penentu masa depan wilayah-wilayah bekas koloninya di Kalimantan (Sabah, Serawak, Brunei). Kemudian dicapai konsensus yang berisi penggabungan wilayah-wilayah tersebut menjadi Federasi Malaysia, yang dengan seketika menimbulkan ketidaksenangan Jakarta. Pemimpin Indonesia menganggap tidak benar-benar merdekanya Malaysia karena tidak adanya revolusi yang analogis seperti yang terjadi di Indonesia, tetap berpengaruhnya Kerajaan Inggris dalam proses politik di Malaysia, dan tidak setujunya beberapa wilayah atas usul penggabungan tersebut (Kalimantan, dan terutama Brunei Darussalam), yang pada akhirnya Januari 1963, Soekarno menyatakan bahwa usulan tersebut tidak dapat diterima oleh Indonesia, dan Subandrio (Ketuan Badan Intelijen Negara ketika itu) menegaskan sikap Indonesia dalam menghadapi isu diatas sebagai politik ‘konfrontasi’.
Selain itu retorika politik mengenai berbahanya keterlibatan ekonomi asing kedalam negeri mencuat. Pada tahun 1959, hukum investasi asing yang pertama kali dihasilkan dicabut, perusahaan asing asal Inggris dan Malaysia yang berada di Indonesia dinasionalisasi, begitu juga beberapa perusahaan Amerika yang bergerak dalam bidang non-migas. Kecenderungan politik luar negeri pun berubah, Indonesia mulai condong ke Cina untuk mendapatkan dukungan diplomatik dan asistensi ekonomi, ketika terjadi keretakan hubungan Sino-Soviet, hubungan diplomatik dengan Uni Soviet memburuk pada kurun 1959 dan bantuan ekonomi dari Russia pun berangsur-angsur menurun. Persekutuan Jakarta dengan Beijing diresmikan pada Januari 1965 ketika Indonesia keluar dari PBB setelah Malaysia diberi kedudukan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kemudian, sekitar bulan Agustus 1965 Sukarno menarik Indonesia dari hubungan yang masih tersisa dengan agen kapitalis internasional, semacam IMF, Interpol dan Bank Dunia. Selain itu, sebagai tindak lanjut kemesraan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan negara-negara “kiri timur”, dalam pidato hari kemerdekaan 17 Agustus Sukarno mengumumkan dibentuknya poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang bersama-sama memiliki paham antiimperialisme dan antikolonialisme serta mandiri dalam menentang ketergantungan ekonomi dunia barat.
Setelah itu, struktur sosial yang meliputi ekonomi dan politik negara Indonesia mengalami ketidakstabilan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diukur dari tingkat inflasi yang mengkhawatirkan, dengan level kenaikan harga barang sekitar 500% hanya dalam kurun waktu 1 tahun, yang diperkirakan akibat kelangkaan (scarcity) berbagai material, dan ditutupnya jalur impor luar negeri. Harga beras pada akhir tahun 1965 naik sebesar 900%, kurs Rupiah terhadap US dollar anjlok dari angka Rp.5.100,00 menjadi Rp.17.500,00 pada kuartal ketiga tahun 1965 dan mencapai angka Rp.50.000,00 pada kuartal keempat tahun yang sama. Ini dapat dilihat sebagai kegagalan manajemen ekonomi yang berpusat pada goverment led pada masa Orde Lama. Pada era Soekarno (1945-1965), politik internasional Indonesia lebih condong ke kiri (komunisme). Meskipun pada tahun 1948 Bung Hatta menyampaikan pidato berjudul ”Mendajung Antara Dua Karang” (1948), yang menjadi awal dari prinsip bebas aktif, kondisi dalam negeri telah mempengaruhi sikap pemerintah dalam hubungan internasional. Dalam pidatonya yang bersejarah, "Mendayung Antara Dua Karang", Bung Hatta mengatakan,"...mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika." Haluan politik LN yang digariskan Proklamator RI pada prinsipnya tidak ingin menjadi obyek dalam percaturan internasional. Indonesia harus dapat menjadi subyek yang dapat menentukan kebijakannya sendiri.
Prinsip bebas dan aktif dipilih untuk menolak tuntutan sayap kiri agar Indonesia berkiblat ke Uni Soviet dan di sisi lain untuk membuat jarak dengan Amerika Serikat (AS). Sikap bebas dan aktif ini juga mendefinisikan peranan yang tepat bagi Indonesia dalam konflik antara dua negara adi kuasa tersebut. "Tidak peduli betapa pun tampak lemahnya kita sebagai bangsa yang baru memenangkan kemerdekaan, jika dibandingkan dengan dua raksasa dalam konflik AS dan Uni Soviet-pandangan pemerintah ialah bahwa kita harus tetap mendasarkan perjuangan kita atas prinsip bahwa kita harus percaya kepada diri sendiri, dan bahwa kita harus berjuang dengan kekuatan dan kemampuan sendiri."
Bangkitnya kekuatan PKI dan kelompok - kelompok kiri ketika itu, ditambah dengan upaya untuk mempertahankan kemerdekaan, memang mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia bergerak ke kanan (kapitalisme). Ketika itu kepentingan nasional Indonesia memang sangat menonjolkan pembangunan ekonomi. Aspek pembangunan ekonomi tersebut kemudian membuat RI harus berpaling ke Barat. Pada perkembangan selanjutnya, faktor keamanan juga turut mempengaruhi kebijakan luar negeri RI. Faktor ini terutama berkaitan dengan masalah Irian Jaya dan Timor Timur. Politik luar negeri RI semakin aktif pada tahun 1980-an, ketika kemajuan ekonomi dan stabilitas politik mulai terjamin, RI ingin mengambil peranan yang lebih penting di panggung internasional. Diawali di tingkat regional, RI lebih giat mempererat hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara melalui ASEAN, terutama dengan ikut mengupayakan terciptanya perdamaian di Kamboja. Lalu RI tampil menjadi Ketua Gerakan Non-Blok (1992-1995), dan puncaknya menjadi tuan rumah pertemuan petinggi APEC di Bogor (November 1994). Pada masa peralihan, ketika Habibie menggantikan Soeharto, terjadi perubahan penting dalam perpolitikan dalam dan luar negeri. Kebijakan luar negeri RI memang tidak banyak berubah, tetapi krisis multidimensi yang melanda RI membuat posisinya di panggung internasional mengalami kemunduran.
Posisi RI di dunia internasional semakin sulit, tatkala Timtim lepas melalui proses jajak pendapat di bawah PBB, dan TNI dituduh terlibat dalam kekacauan di Timtim, beberapa saat setelah hasil jajak pendapat berakhir dengan penuh kekecewaan. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya. Akan tetapi, dalam setiap kunjungannya tidak ada agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Wahid akhirnya diturunkan dari kursi Presiden, namun ternyata Megawati yang menggantikannya tidak memiliki agenda internasional yang fokus. Megawati juga banyak melakukan lawatan keluar negeri, namun, sekali lagi dengan agenda yang tidak kongkrit.
Kegandrungan Soekarno dalam membaca literatur-literatur serta sumber-sumber bacaan, juga menjadi bahan pengayaan pemikirannya. Dalam kegiatan memperdalam pemikirannya, Soekarno banyak terinspirasi dengan literatur-literatur Barat seperti Karl Marx, Frederichs Engels, Lenin, J.J Rosseau, dan juga Voltaire. Semua tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh revolusioner yang mampu mengubah bangsanya. Hal inilah yang menjadikan Soekarno lebih cenderung revolusioner dalam garis perjuangannya. Pada era-era berikutnya, merupakan sebuah era perjuangan bagi Soekarno untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonialis Belanda. Ternyata pemikiran dan pandangan politik Soekarno memang merupakan suatu yang telah mengkristal, yang menimbulkan kesadaran beliau akan diskriminasi dan penderitaan yang diderita bangsa Indonesia. Hal in pula yang menjadi dasar perjuangan ideologinya, yang revolusioner, sehingga menjadi seorang tokoh yang berpengaruh pada jaman pasca kemerdekaan tahun 1945.
Dalam kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya. Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik keseimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini.
Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville. Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif.
Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their freedom no other course of action open to them than to choose between being pro-Russian or pro-American? The government is of the opinion that position to be taken is that Indonesia should not be a passive party in the arena of international politics but that it should be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own interests and should be executed in consonance with the situations and facts it has to face.
Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik. Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional.
Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme.
Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soeharto–dua presiden yang lama berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan kolonialisme.
Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Timur.
Kendati sejak awal kemerdekaan sudah menggariskan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, pada kenyataannya politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan secara substansial dari masa ke masa. Hal ini terkait dengan orientasi politik yang dikembangkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Di zaman Soekarno, misalnya, Indonesia condong untuk bersahabat dengan Uni Soviet dan Cina. Di era Soeharto, diplomasi bebas aktif Indonesia agak pro ke Amerika dan Jepang. Dan, kini di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, politik luar negeri bebas dan aktif dicoba dijalankan sebagaimana mestinya, dengan memperkuat peranan dalam diplomasi di tingkat regional dan internasional. DIPLOMASI internasional Indonesia mempunyai warna yang berbeda-beda sesuai dengan semangat zaman sejak perjuangan kemerdekaan hingga kini. Beberapa hal dalam isu-isu ketimpangan antara negara maju dan berkembang tentu masih relevan saat ini. Dalam kaitan itu, kebijakan politik Indonesia harus menentukan skala prioritas. Di antaranya adalah prioritas dalam mekanisme multilateral, regional, ataukah bilateral yang masing-masing dengan pendekatan yang berbeda. DI hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sejak kemerdekaan, eksistensi negeri yang masih belia ini mendapat tantangan dari Belanda. Memperjuangkan pengakuan internasional atas kemerdekaan dan upaya mencegah kembalinya kekuasaan kolonial telah menjadi ciri pelaksanaan politik LN pada masa awal berdirinya RI. Kiprah Indonesia di dunia internasional pun semakin dikukuhkan dengan masuk menjadi anggota PBB tanggal 28 September 1950 (tapi pada 7 Januari 1965, Indonesia memutuskan keluar dari PBB). Pada tahun-tahun selanjutnya dunia semakin hangat dalam suasana Perang Dingin. Sementara di dalam negeri diwarnai gonta-ganti pemerintahan. Pada masa demokrasi parlementer (1950-1959) ini lingkungan strategis semakin terpolarisasi. Dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, Blok Barat dipimpin AS dan Blok Timur di bawah Uni Soviet, menciptakan suasana permusuhan.
PM Ali Sastroamidjojo dalam pertemuan di Kolombo 1954 melontarkan pertanyaan, "Di mana kita berdiri sekarang, kita bangsa Asia, di tengah-tengah persaingan dunia ini?" Pernyataan Sastroamidjojo itu dipandang sebagai pemberi arah bagi lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA). Sebetulnya sikap dan visi para pemimpin Indonesia tentang Asia Afrika telah terjejak pada beberapa tahun sebelumnya. Indonesia pada akhirnya berhasil menggelar KAA pada tahun 1955. Pada periode ini, politik LN dan keamanan Indonesia tetap ideologis dan jelas semakin ke kiri. Ini mencerminkan pertarungan politik dalam negeri.
Dalam suasana perjuangan mengembalikan Irian Barat, Indonesia membeli peralatan militer dari Soviet dan berakibat makin menjauh dari Barat. Perjuangan meraih Irian Barat ini menjadi prioritas politik LN. Menurut catatan mantan Duta Besar RI untuk Australia, S Wirjono, pada periode selanjutnya terlihat pergeseran ideologi ke kiri dengan anti-Nekolim. Di tingkat politik internasional, sikap itu terlihat dan memuncak pada periode demokrasi terpimpin. Ini semakin tampak dalam periode Nefos-Oldefos dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Beijing-Pyongyang. "Dengan konsep ini sebenarnya politik bebas aktif boleh dikata sudah ditinggalkan," komentar Wirjono dalam seminar di Centre for Strategic and International Studies. Peristiwa 30 September 1965 mengubah orientasi politik dengan naiknya Soeharto. Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto menggariskan politik LN bebas dan aktif, yang diabdikan kepada kepentingan nasional, yakni pembangunan ekonomi.
Kalau dilihat pada periode awal kemerdekaan, pemerintah berusaha keras menampilkan citra politik luar negeri "bebas dan aktif" tetapi condong ke negara-negara Barat. Pada periode demokrasi terpimpin, Soekarno mempererat hubungan dengan negara-negara komunis sambil mengorbankan hubungannya dengan negara-negara Barat. Pertama, ia mempererat hubungan dengan Uni Soviet lalu Cina. Pemerintahan Soeharto kembali berorientasi ke Barat, khususnya AS dan Jepang, dan pada waktu yang sama mengejar tujuan-tujuan regionalisasi sekuat tenaga. Berbagai prakarsa kerja sama internasional dikukuhkan, dengan terbentuknya ASEAN, Indonesia menjadi jangkar stabilitas di Asia Tenggara. Pada tahun 1975, militer Indonesia menginvasi dan mengambil alih Timor Timur yang di kemudian hari membuahkan banyak masalah untuk politik LN. Selain ASEAN, peran aktif Indonesia juga diupayakan melalui Gerakan Non Blok (GNB), Kelompok 77 dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan kembali bergiat di PBB. Pada tahun 1992, Indonesia menjadi tuan rumah KTT Non Blok. Pihak yang paling diuntungkan adalah pihak Barat yang membuat lembek kebijakan luar negeri Indonesia. Tentunya, yang termasuk dalam kebijakan luar negeri Indonesia adalah juga kepemimpinan Indonesia di dalam kecenderungan yang disebut oleh Soekarno sebagai New Emerging Forces (NEFO).
Pada tahun-tahun sebelum naiknya Soeharto, negeri-negeri yang bisa dikatakan sebagai NEFO berada dalam pengaruh kuat pemimpin-pemimpin yang bersandar kepada retorika anti-Barat. Sebagian besar adalah negeri-negeri Asia dan Afrika, yang baru merdeka dan mengalami revolusi pembebasan nasional. Meskipun kekuatan militernya tidak sebesar negara-negara NATO ataupun Pakta Warsawa, gaung manuver politik negeri-negeri NEFO dan pemimpin-pemimpinnya, cukup membuat elit Barat merasa terancam.
Ahmad Ben Bella, Presiden Aljazair tahun 1963-1965, mencatat hal tersebut dalam artikel yang memperingati 30 tahun kematian Che Guevara. Ben Bella bercerita tentang bagaimana negeri-negeri seperti Kuba, Aljazair, Mali, Mesir, dan Uganda bekerja sama membantu pemerintah-pemerintah revolusioner di Angola dan Kongo dalam menghadapi gerakan pro Barat dan Afrika Selatan. Di tahun-tahun yang sama, Soekarno mencoba mengintervensi kemerdekaan Malaysia yang dipimpin oleh kelompok-kelompok pro Barat sembari membantu gerilyawan komunis di utara semenanjung Malaka.
Asia Tenggara dan Afrika menjelang 1965, memang seperti ladang pergolakkan antara kelompok-kelompok pro Barat di satu pihak dan aliansi kelompok-kelompok nasionalis dan komunis di pihak lain. Situasi ini membuat Perang Dingin kurang lebih bermakna sebagai perang lanjutan antara rakyat negeri-negeri yang baru merdeka dengan
mantan penjajahnya.
Sebelum mengakhiri artikelnya, Ben Bella menggarisbawahi sebuah fakta. Setelah terbunuhnya President Kongo Patrice Lumumba, lonceng kematian seperti berdentang untuk rejim-rejim progresif. Satu demi satu mereka dikudeta atau presidennya dibunuh oleh pihak-pihak pro investasi Barat. Lumumba, N’Krumah, Nasser, Soekarno menghilang dari percaturan politik dunia. Ben Bella sendiri dikudeta oleh militer Aljazair pada tahun 1965.

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa antara periode 1950-1966 dengan periode selanjutnya memiliki perbedaan yang cukup fundamental dalam perspektif ekonomi politik yang dianut masing-masing era. Orde Lama, pada kurun waktu 1950-1966 cenderung memperlihatkan kecenderungan ideologis dalam operasional kebijakan ekonomi yang cenderung menuju perspektif radikal. Orde Lama melihat barat sebagai agen utama neo-imperialisme dan neo-kolonialisme dan penyebab utama kesenjangan distribusi material di antara Utara-Selatan. Oleh karenanya, Orde Baru cenderung memiliki hubungan diplomatik dengan sesama negara periferi dan dengan lantang menunjukkan perannya sebagai wakil New Emerging Forces. Hal ini dibuktikan dengan diresmikannya Poros Jakarta-Phnompenh-Peking-Hanoi-Pyongyang oleh Presiden Soekarno.